SOKSI: Batalkan Kurikulum 2013

[JAKARTA] Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) mendesak pemerintah membatalkan program kurikulum baru yang akan diberlakukan tahun ajaran baru Juni 2013 mendatang. Sebab, perubahan kurikulum tersebut tanpa sosialisasi memadai, bahkan bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

"Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah memaksakan penerapan kurikulum 2013 yang akan berlaku mulai efektif mulai Juni 2013 sebagai pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sedangkan anggaran perubahan kurikulum 2013 sangat fantastis sebesar Rp 684,4 miliar. Kalau pemerintah tetap memaksa, ini akan menjadi malapetaka bagi dunia pendidikan nasional,” ujar Ketua Depinas SOKSI Bidang Pendidikan Fatahillah Ramli di Jakarta, Selasa (1/1).

Menurut Fatahillah Ramli, ada empat persoalan krusial perubahan kurikulum 2013 yang langsung dirasakan oleh peserta didik/siswa mulai SD hingga SMA. Pertama, pengurangan jumlah mata pelajaran. Misalnya, pelajar tingkat SD dari 10 menjadi 6, tingkat SMP dari 12 menjadi 10, begitu pula dengan SMA/SMK. Persoalannya, memang ada efisiensi mata pelajaran, tapi apakah sudah dikaji bagi guru yang mata pelajarannya dihilangkan. Program sertifikasi guru saja masih amburadul dan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, belum lagi dampak yang ditimbulkan.

Kedua, terjadi penambahan jam mata pelajaran mulai dari SD hingga SMA. Misalnya, untuk tingkat SD bertambah 4 jam/minggu, SMP bertambah 6 jam/minggu dan SMA bertambah 2 jam/minggu. Persoalannya, bagaimana penerapan bagi sekolah yang menerapkan 2 shift, antara pagi dan siang. Selain itu, penambahan jam sekolah apakah menjamin tidak lagi terjadi tawuran di sekolah-sekolah.
Ketiga, penerapan kurikulum 2013 ini bertentangan dengan UU. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis. Selain itu, perubahan kurikulum juga tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya (KTSP) 2006 sehingga dapat membingungkan guru dan pemangku pendidikan dalam pelaksanaannya.

Keempat, perubahan kurikulum ini tanpa melalui sosialisasi di daerah-daerah, bahkan  Kemdikbud sama sekali tidak melibatkan para guru dalam merumuskan kurikulum 2013. Akibatnya, pengintegrasian mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan enam mata pelajaran baru untuk jenjang sekolah dasar (SD). Bahkan kedepan sudah tidak ada lagi proses penjurusan IPA/IPS siswa SMA, padahal rumpun ilmu mata pelajaran kedua jurusan itu berbeda sekaligus sebagai panduan siswa untuk masuk perguruan tinggi (PT).

Rusmin Effendy menambahkan, bila pemerintah tetap memberlakukan kurikulum 2013, tidak ada alasan penerapan tersebut harus diajukan

judicial review karena pada hakikatnya pemerintah sudah melanggar UUD 1945 (Pasal 31 ayat (1) sampai (5) serta UU Sisdiknas. “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan pemerintah wajib membiayainya. Persoalannya, apakah para siswa kita mulai jenjang pendidikan SD sampai SM A sudah mendapatkan pendidikan yang gratis. Buktinya, masih banyak sekolah yang melakukan pungutan liar dan membebani biaya kepada orang tua murid,” tegasnya.

Keresahan Daerah
Anggota Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR, Ferdiansyah menegaskan, pihaknya baru saja melaksakan kunjungan kerja (kunker) ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan mendengarkan langsung aspirasi masyarakat yang menentang penerapan kurikulum 2013. “Para guru di daerah diresahkan dengan rencana pemerintah yang akan menerapkan kurikulum baru pada 2013 ini, termasuk Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin ikut  resah dengan perubahan kurikulum itu. Bahkan, banyak di antara para guru yang belum mengetahui rencana perubahan kurikulum, hanya membaca melalui pemberitaan media massa,” kata dia.

Menurut Ferdiansyah, penerapan kurikulum baru yang akan dilakukan pertengahan 2013 terus ditentang banyak elemen masyarakat. Sebagian besar berharap agar pemerintah melakukan uji coba terlebih dahulu daripada terburu-buru mengimplementasikan kurikulum baru tersebut. “Implementasi langsung dengan waktu yang singkat ini dikhawatirkan berdampak tidak baik. Meski diberlakukan bertahap pada kelas tertentu untuk tahun pertama pelaksanaan, tidak ada jaminan bahwa kurikulum baru akan berjalan lancar atau lebih baik dari kurikulum sebelumnya. Saya khawatir penerapan kurikulum baru ini akan bernasib sama seperti KTSP,” tegasnya.

Dia juga memberikan usul agar pemerintah melakukan uji coba minimal selama tiga tahun, bila pelaksanaannya belum optimal bisa ditambah lagi selama enam tahun, sehingga sekolah dan para guru benar-benar bisa mengikuti ketentuan yang sudah ada. Sebaliknya bila dipaksakan, maka dampaknya bisa langsung dirasakan oleh peserta didik. “Karena itu, jangan sampai perubahan kurikulum hanya karena ambisi pemerintah semata , padahal kebijakan tersebut bersifat nasional yang seharusnya dipersiapkan secara matang. Bukan hanya dalam waktu enam bulan,” ujar Ferdiansyah. [PR/S-26]

0 komentar:

Posting Komentar